Dalam persidangan perkara pidana untuk kesempatan pertama Jaksa Penuntut Umum akan membacakan surat Dakwaan. Selanjutnya terhadap Surat Dakwaan ini, Terdakwa atau Penasihat Hukum terdakwa akan menjawab surat Dakwaan dan ini disebut dengan Eksepsi/Tangkisan (plead). Tentang bentuk putusan hakim terhadap eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya yang berupa ‘Putusan’, dapat “putusan bukan putusan akhir (Putusan Sela)” dan “putusan akhir (final)”, tergantung alasan keberatan yang disampaikan oleh Terdakwa.  

Biasanya sebelum ‘putusan sela’ dijatuhkan oleh hakim, proses diawali dengan pengajuan eksepsi atau keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya. Bisa juga pengajuan eksepsi berbarengan setelah penuntut umum selesai membacakan dakwaan dan hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi atau keberatan. Selanjutnya hakim memberikan hak/kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapi (menyatakan pendapat) tentang eksepsi yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, dan ini sudah bersifat final karena undang-undang tidak membuka kesempatan untuk ditanggapi lagi.

Apabila hakim “menerima eksepsi atau keberatan” yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, maka pemeriksaan perkara ‘tidak dilanjutkan (dihentikan)’. Penghentian atau tidak melanjutkan pemeriksaan ini adalah bersifat ‘permanen’, jika Penuntut Umum tidak mengajukan perlawanan ke Pengadilan tinggi. Apabila hakim “menolak eksepsi atau keberatan” dari terdakwa atau penasehat hukumnya, berarti Pengadilan Negeri yang bersangkutan berwenang untuk mengadilinya. Pemeriksaan perkara ‘harus’ dilanjutkan, tidak boleh dihentikan.

Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi penasihat hukum inilah yang memegang peranan penting dalam dijatuhkannya putusan sela oleh hakim. Kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

Putusan sela diatur sebagaimana dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pelaksanaannya juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan.

Bentuk putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu berupa ‘penetapan’ dan ‘putusan’ yang dapat berbentuk putusan sela dan putusan akhir dan upaya hukum terhadap putusan hakim atas eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya dan oleh penuntut umum adalah berupa perlawanan yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, Pasal 149 ayat (2) KUHAP, Pasal 156 ayat (3) KUHAP dan Pasal 214 ayat (4) KUHAP, dan bersama-sama permintaan banding yang diatur dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP.

Putusan sela dalam Perkara Pidana dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang menentukan: “Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Pasal 156 ayat (2), berbunyi : Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.

Adapun putusan sela dalam perkara pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dapat berupa:

  1. Surat dakwaan batal demi hukum, karena surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
  2. Bahwa dalam perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka surat pelimpahan perkara akan di kembalikan kepada jaksa penuntut umum, untuk selanjutnya kejasaan negeri yang bersangkutan akan menyampaikan kepada kejaksaan negeri yang tercantum dalam penetapan hakim ( Pasal 148 KUHAP).
  3. Surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima, karena  surat dakwaan tersebut sudah lewat waktu (daluarsa), pemeriksaan untuk perkara yang sama sudah pernah dilakukan (nebis in idem), dan perkara memerlukan syarat aduan.

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

Leave a Reply